Dengan Bitcoin Rentan Korban Cyber Crime dan Praktek Money Laundering



Surabaya (Wowrack) – Aplikasi penggunaan Bitcoin sebagai alat tukar dan transaksi hingga kini masih simpang siur dan menuai pro kontra. Toh, beberapa kalangan tetap saja mengunakan model uang virtual sebagai alat transaksi mereka. Menyikapi hal ini, beberapa otoritas keuangan di beberapa negara hanya bisa mewanti-wanti publik akan resiko dengan mengunakan bitcoin. Wowrack Indonesia sendiri sebelumnya telah membahas beberapa resiko dibalik transaksi mata uang virtual ini. Resiko Dalam Penggunaan Bitcoin Dalam Transaksi yang bisa di klik di http://blog.wowrack.co.id/2014/09/resiko-dalam-penggunaan-bitcoin-dalam.html. Salah satu poin yang menarik disini ialah rentan tindakan kejahatan virtual yang berbuntut hukuman pidana.

Sebut saja yang dilakukan oleh pemerintahan Bangladesh pertengahan September ini. Salah satu negara berkembang di kawasan Asia selatan ini terang-terangan memberi warning bagi siapapun yang bertransaksi dengan Bitcoin, bisa dihukum penjara dengan berlandaskan pada Dasar hukum undang-undang anti money laundering.

Mengutip lama AFP, pejabat bank sentral Bangladesh menyatakan, bila ada yang dinyatakan bersalah, bisa dihukum penjara hingga 12 tahun. Selain Bangladesh, Thailand dan Irlandia juga secara terang-terangan menentang pemakaian alat tukar.

Namun tidak demikian dengan negara-negara lainnya. Menurut laman bitlegal.net, tercatat 23 negara mengizinkan penggunaan Bitcoin, di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, Belanda, dan Korea Selatan. Sementara itu, tiga negara lain masih memperdebatkan penggunan itu yaitu China, India, dan Taiwan.

Resiko Bitcoin Dimata Hukum Indonesia.

Lantas bagaimana dengan sistem hukum di negara kita? Walau transaksi dengan bitcoin semakin marak di Indonesia, Bank Indonesia (BI) tidak mengakui Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah.

Hal ini mengacu pada Undang Undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang, dan Undang undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
“Undang-undang ini direvisi lagi menjadi nomor 6 Tahun 2009, tentang penetapan pengganti undang-undang nomor 2 Tahun 2008, tentang Perubahan kedua atas UU 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Isinya menyatakan, bahwa bitcoin maupun virtual currency lainnya bukan alat pembayaran yang sah,” jelas Suhaedi, Kepala Kantor Perwakilan BI di Wilayah Sulampua.
Dalam UU Mata Uang negara kita hanya mengenal transaksi dengan menggunakan rupiah sehingga uang virtual bitcoin tak sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Masih dalam regulasi yang sama, dinyatakan bahwa selain harus menggunakan rupiah, semua transaksi di Indonesia harus dengan izin dari BI. Karena itu larangan peredaran bitcoin bukannya tanpa alasan yang kuat.

Direktur Departemen Komunikasi BI, Peter Jacobs seperti yang dilansir merdeka.com menyatakan, jika resiko yang dihadapi publik bila kedapatan menggunakan Bitcoin, maka bisa-bisa dikenakan sanksi. Peter beralasan, transaksi Bitcoin tidak bisa diketahui secara jelas dan pasti siapa yang menerbitkan uang virtual tersebut.
“Di sini dilarang sesuai UU kita dan itu bisa masuk ke ranah pidana ke pengadilan. BI dapat mengadukan ke pengadilan dan bisa kena pidana Bitcoin,” jelasnya.

 Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah terkait bitcoin yang menjamin kerahasiaan pemiliknya, Difi menilai hal itu berpotensi terjadinya pencucian uang. Sifat anonim yang terkandung dalam Bitcoin, yang bagi sementara penggunanya dianggap sebagai “keuntungan”, oleh otoritas moneter dianggap sebagai kelemahan. Pasalnya sifat anonim bitcoin ini membuka peluang terjadinya tindak kejahatan pencuciang uang (money laundering) dan diabaikannya prinsip mengenal nasabah (know you customers) yang berlaku di lembaga keuangan Indonesia.

 Tak hanya itu, resiko semakin pelik kala bitcoin bisa menjadi tempat persembunyian pelaku kejahatan dan penipuan canggih berkedok uang digital. Biasanya mereka mengintai celah kelemahan peraturan dan memanfaatkan keawaman masyarakat umum. Maka dari itu, jika akan ada regulasi mengenai bitcoin, harus dikoordinasikan dengan lembaga lain seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Resiko kejahatan cyber lainnya pada penggunaan bitcoin yakni aksi perampokan data kekayaan pengguna.

Hal ini mengacu pada penyalahgunaan dan aksi pencurian data pribadi penguna bitcoin yang tersimpan dengan pengunaan program malware seperti jenis virus yang menyerang Mt Gox bursa terbesar Bitcoin di dunia pada 2013 dan Trojan Winka32 JorikIRCbot xkt yang dikirimkan melalui pesan instan dari aplikasi voice over internet protocol (VoIP) Skype. Jika pesan ini diklik, itu akan terhubung dengan Bitcoin-miner.exe untuk menginfeksi central processing unit (CPU) dari komputer milik pengguna Bitcoin untuk dijadikan tempat penambangan Bitcoin.
“Bitcoin sangat mengandalkan komputer, sekali berhasil dijebol, semua sudah selesai (hilang) Bitcoinnya,” ucap Alfons Tanujaya, spesialis antivirus Vaksincom.

Aturan lainnya datang dari pihak Kemenkominfo. Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), seluruh layanan lembaga publik yang menggunakan teknologi peralatannya harus disertifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Hal ini berlaku juga bagi bitcoin yang tak lain adalah jenia uang virtual yang menggunakan layanan teknologi. Namun sayangnya, hingga kini, belum ada laporan sertifikasi teknologi bitcoin oleh Kemenkominfo atau tidak. Sehingga legalitas bitcoin harus melalui dan melwati dua UU yang ada di negara kita.

Blog Wowrack Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

See More

Latest Article

Optimalkan kinerja bisnis sesuai kebutuhan Anda dengan layanan fleksibel Wowrack